-->
Copy kode di bawah masukan di blog sobat, saya akan segera linkback kembali OK...thanxz
Photobucket

FEEDJIT Live Traffic Feed

Seindah ♥ Wanita Perindu Surga

Jumat, 21 Agustus 2009

Abu Fulanah Al Jawie

Malam sudah semakin larut, kebanyakan manusia sibuk dibuai mimpi dan kehangatan selimutnya, hawa dingin yang menusuk membuat manusia semakin merapatkan diri kepada bantal dan gulingnya, malam memang masih panjang, masih sempat meraih impian indah yang belum mampu dia nyatakan di dunia nyata, apalagi suara gerimis yang tiada putus menerpa atap rumah dan angin malam yang berhembus melalui saluran ventilasi rumah membuai telinganya laksana buaian ibu kepada anaknya, senyum yang terkembang oleh rasa nyaman balutan selimut tebal memberitahukan bahwa seorang laki-laki yang selalu berusaha memperbaiki ibadahnya bisa juga terlena dalam kenikmatan duniawi ini...



Namun semua itu terusik dengan rasa dingin percikan air yang menerpa wajahnya, kembali dia berpaling ke arah lain untuk menghindari percikan air itu, di arah itu pula ia mendapati percikan air kembali terasa di kulit wajahnya, membasahi pori-pori pipinya, mengusik impian yang tadi indah, bayangan impian semu itu perlahan menjauh dan suara yang lembut dan samar tertangkap telinganya, suara yang tidak asing baginya namun begitu merdu terdengar di telinganya, perlahan laki-laki ini membuka matanya dengan berat, enggan tersirat untuk melepas mimpinya, namun senyum yang teramat indah tergambar di depan wajahnya, belaian tangan yang lembut membelai pipinya, kehangatan tangan yang penuh kasih sayang itu dipegangnya, diletakkannya pada dadanya, kembali suara lembut itu terdengar,

“Wahai suamiku, bangunlah! Tegakkan sholat kepada Allah, semoga Allah memberikan kebaikan kepadamu.”

Merdu terdengar pendengarannya dan mengisi relung hatinya, membasahi kekeringan dan kehampaan mimpi-mimpi yang diraihnya tadi, laki-laki itu menguatkan diri untuk membuka dengan kuat matanya yang berat, senyumnya terkembang, dan dihadapannya terbentang senyum yang membuat hari-harinya menjadi indah. Suara lembut itu berujar kembali,

“Bangunlah, sudah kusiapkan minuman hangat untukmu, kemudian ambillah air wudhu.”

Ya Allah, mampukah kulepas senyum itu dalam hidupku, hati laki-laki itu berguman dalam langkahnya menuju minuman hangat yang telah siap untuknya. Seteguk susu coklat kental hangat membasahi tenggorokannya yang kering, mungkin karena dengkurnya dalam tidur tadi. Dia tersenyum demi mengingat perkataan wanita yang sudah mengisi hari-harinya beberapa tahun ini.

“Apakah engkau tidak terganggu dengan suara dengkurku setiap malam?”
Dengan tersenyum lembut wanita itu menjawab,”Wahai suamiku, mana ada dengkuran yang merdu? Semua orang mendengkur dengan cara dan suara yang sama, dan aku yakin itu bukan sebuah kesengajaan, mana mungkin aku mencelanya?” Senyumnya kian terkembang demi melihat wajah laki-laki itu yang memandang dengan pandangan heran, tangan mungilnya mencubit mesra pada pipi laki-laki itu."

....
Hari beranjak kian pagi, wanita itu duduk terdiam dengan wajah tertunduk di belakang laki-laki yang dipanggilnya suami sedang membaca al Qur’an, suara yang sangat pas-pasan itu didengarkannya dengan khusyu’ kadang dia tak tahu kalau laki-laki itu menoleh memandangnya di tengah istirahatnya. Kadang kadang tersirat sebuah bisikan buruk dalam hatinya,”Mungkin dia tertidur karena lelah bangun dini hari tadi.” Namun bisikan itu salah. Setelah bacaannya terhenti beberapa lama wajah wanita itu terangkat, dan lagi-lagi senyum itu terkembang dan berujar,”bacaan yang bagus, andaikata saya bisa membaca sebagus itu.”

Alhamdulillah shalat subuh sudah ditunaikan, persiapan untuk kehidupan dunianya pun dipersiapkan, kadang ada yang terlupa, maka wanita disebelahnya mengingatkannya, maklum, mungkin dengan bertambahnya usia laki-laki itu ingatannya semakin lemah, atau mungkin terlalu banyak pikiran? Bahkan kadang untuk hal makan saja laki-laki itu sering bertanya,”Apakah aku sudah makan siang ini? Apakah aku sudah makan malam ini?” Alhamdulillah ada seseorang yang selalu menemaninya dan mengingatkan segala hal yang dia lupakan, yang dengan setia menemaninya, sabar terhadap perlakuan laki-laki yang dicintainya, walau laki-laki itu sadar kadang tidak semua perlakuannya bisa dibilang menyenangkan kepada wanita itu.

Wanita yang dipinangnya walau dengan rasa enggan dari orang tuanya, wanita yang bersedia menerima rasa benci orang tuanya akan akidah suaminya, dia tunduk akan kebenaran manhaj salaf yang diajarkan laki-laki yang dicintainya itu. Bukan karena terbutakan rasa cinta belaka, namun karena hati yang terbukakan oleh hidayah Allah, dengan tanpa berat hati ia menjawab dengan tegas,”Aku pasti akan memilih suamiku dan jalan yang ditempuhnya.” Itu dijawabnya ketika laki-laki yang dicintainya bertanya tentang pilihan antara orang tua dan dirinya.

Entah sebuah pertanyaan seperti apa itu, mungkin karena melihat kondisi bahwa keluarga besar wanita itu membenci akidah salaf yang diyakini suaminya. Walaupun, Alhamdulillah sikap permusuhan itu tidak ditampakkan secara lahir, mungkin juga karena akhlak yang ditampakkan laki-laki itu pada keluarganya, sikap lemah lembut kepada yang lebih tua dan belum mengetahui akidah Islam yang benar. Laki-laki itu selalu berdo’a agar kelak diberikan kemenangan atas keluarga wanita yang dipanggilnya istri itu, sebuah harapan besar yang selalu dinantikannya. Sebagaimana yang dijanjikan Allah sebagai ath Tha’ifah al Manshurah.

Sebuah pengorbanan besar yang diberikan seutuhnya kepada laki-laki dimana wanita itu mengharapkan dan merindukan surga Allah bersama suaminya, laki-laki yang sudah menyampaikan sebuah kebenaran dalam hatinya, menerangi kegelapan yang dulu ada, mengusir kegelisahan yang menghuni dalam hatinya. Walau dalam hatinya dia yakin dan mengikhlaskan kelak suaminya akan menduakan dirinya dengan berpoligami. Hanya ridha Allah semata yang dia nantikan, dia berkata kepada suaminya,” Kecemburuan itu ada wahai suamiku, namun bagaimana mungkin aku tidak ridha sedangkan Allah ridha terhadapnya?” Wajahnya tertunduk dan berharap,”Maka bantulah aku dalam kecemburuan itu, didiklah diriku sebaik mungkin yang engkau mampu, antarkan aku kepada ridha Allah dalam do’a-do’amu, dan penuhi sikap lemahku sebagai wanita dengan kebijakan yang engkau miliki.”

Dalam perjalanan laki-laki itu ke tempatnya bedagang setiap hari masih terngiang ucapan wanita itu dalam benaknya,”Wahai suamiku, engkau adalah nahkoda dalam bahtera ini, dan diriku mengikuti arah yang engkau tentukan selama Allah mengizinkan, maka gunakan ilmu yang engkau miliki dalam menjalankan bahtera ini, sampai atau tidaknya bahtera ini ke tujuan yang kita impikan sebagian besar engkau yang memegang kendalinya, insya Allah aku akan membantumu semampu yang aku bisa berikan kepadamu.”

“Wahai suamiku, hati kita ini lemah tanpa bimbingan Allah, maka berusahalah untuk selalu berada dalam bimbingannya, katakan apa yang tidak engkau sukai dan apa yang engkau senangi dari diriku, aku akan berusaha memenuhinya sebagai istrimu. Jika engkau sedang tidak ridha kepadaku maka tegurlah aku dengan lembut, karena hati seorang wanita sangatlah rapuh.”

Hati laki-laki itu tersentuh dengan perkataan yang begitu lembut, kadang air mata laki-laki itu tak sengaja mengalir demi melihat keikhlasan hati istri yang dicintainya itu, namun semua itu disembunyikannya karena takut terlihat wanita yang yang turut menyempurnakan separuh dari agamanya itu.

Lelah rasanya berkutat hingga siang hari, tenggelam dalam kehidupan dunia. Alhamdulillah, Allah memberikan kesempatan untuk shalat berjama’ah, panas terik dilaluinya dengan berjalan bersama teman-temannya, laki-laki itu menuju masjid untuk menunaikan kewajibannya, dipintu masjid disampaikannya salam kepada seisi penghuni masjid itu. Dalam do’anya disampaikannya keinginan tentang kehidupan akhirat dan dunianya, harapan menjadikan istrinya menjadi istri yang shalihah, dan dijadikan anak-anak yang membuat indah pandangannya menjadi anak-anak yang shalihah pula. Terbayang senyum lembut istrinya dalam do’anya.

Sesampainya laki-laki itu di depan pintu rumahnya, senyum indah terkembang menyambutnya, dijawabnya salam laki-laki itu dengan baik dan lengkap, diletakkannya barang-barang bawaan suaminya pada tempatnya. Makanan sudah tersedia, tak sengaja laki-laki itu pulang agak terlambat dari jadwal seharusnya, namun wanita itu ikhlas menahan lapar agar bisa makan menemani suaminya.
Sebuah bahtera rumah tangga kadang ada riak kecil yang muncul dan mewarnai perjalanannya, kadan riak itu berubah menjadi ombak yang mengancam keutuhan bahtera, namun ketangguhan asisten nahkoda mempertahankan perjalanan yang kadang hampir kandas oleh karang dan tenggelam dalam jurang penyesalan yang tiada berujung.

Kelembutannya, perilakunya diaturnya sedemikian rupa agar tidak membuat hati laki-laki yang dicintainya itu marah. Dan jika laki-laki itu marah maka tertunduk kepalanya menerima perkataan suaminya dengan lapang dada, ditunggunya sampai kemarahan laki-laki itu reda, dia memahami, mungkin laki-laki yang dicintainya itu memiliki banyak sesuatu yang harus dipikirkannya, dan belum mau membaginya bersamanya, walau dengan pandangan lembut penuh cinta hatinya seakan berkata,”

“Janganlah bersedih suamiku, kesedihanmu adalah kesedihanku, sakit di hatimu terasa sakit pula terasa dalam diriku, murungnya wajahmu seperti mendung dalam istanaku, kemana senyum ceria yang selama ini membuatku gembira?”

Hingga malam datang menjelang, hati yang gundah perlahan mereda, kegelisahan tertutupi oleh bacaan Al Qur’an, air mata kali ini bukanlah untuk penyesalan, sebersit kegembiraan hadir dalam hatinya demi mendapati istrinya mengusap lembut rambutnya, kecupan kecil dia dapatkan di keningnya, suara lembut dan lirih dibisikkan ke telinganya, serasa bergetar seluruh tubuh laki-laki itu oleh kesenduan bisikan lembutnya,”Wahai suamiku, bersabarlah karena Allah, Demi Allah, Dia tidaklah memberimu beban yang engkau tidak mampu memikulnya, kesedihan di dunia hanyalah sementara, pasti akan ada akhirnya, apapun yang engkau hadapi, aku akan ada selalu berada disampingmu sebagai kekasihmu, tidak akan kubiarkan engkau bersedih sendirian sedang aku jauh darimu, bukankah kita sudah melewati banyak masa bersama?”

“Wahai suamiku, ketika engkau marah tadi telah kusiapkan air wudhu bagimu, namun aku enggan untuk mengusikmu dan membuatmu tidak ridha kepadaku, namun mungkin engkau tidak melihatnya sehingga engkau melewatkannya, maafkan kelemahanku karena tidak mengingatkanmu.”

“Wahai suamiku, jika ada perbuatan dan perkataanku ada yang membuatmu tidak ridha kepadaku maka ingatkanlah aku dan hukumlah aku, sungguh aku sangat mengharapkan senyum manis itu muncul kembali dari bibirmu, bukankah malam telah menjelang dan kelelahan tergantikan oleh kasih sayang?”

Hari-haripun berlalu, tawa dan canda serta rayuan mesra menghiasi kamarnya, tidak ia mendapati wanita itu memakai wewangian yang memikat kecuali di atas tempat tidurnya, kadang hati laki-laki itu berdebar kencang demi melihat wajah istrinya terias cantik dengan indahnya, mungkin kadang karena kesibukannya ia jarang memperhatikan kecantikan paras wajah istrinya. Dibisikkan ditelinganya kata-kata mesra yang membuatnya semakin tertarik untuk memetik sekuntum mawar merah yang harum semerbak.

Di ujung malam mengantar rasa kantuk pada diri laki-laki itu sebuah ucapan lirih disampingnya mengisi relung hatinya,”Wahai suamiku, antarlah aku menuju surga bersamamu, sungguh ingin aku selalu disampingmu di dunia ini dan di akhirat kelak, hati ini yang rapuh merindukan selalu nasihat-nasihatmu, bawalah aku bersamamu dalam ridha Allah, cita-citamu adalah keinginanku, kebahagiaanmu adalah pelangi dalam rumah ini, senyum di bibirmu adalah kupu-kupu dalam taman kasih sayangmu kepadaku, keridha-an dirimu atas diriku adalah embun yang membasahi hati ini, hari-hari di dunia boleh berakhir kapanpun Allah menghendaki, namun aku mengharapkan hari-hari itu kelak akan terisi bersamamu di surga kelak, Insya Allah.”
Malam pun semakin larut, sebaris do’a mengantarkan terkatupnya mata menuju tidur indahnya, kegelisahannya hilang sudah, terlintas dalam keremangan cahaya lampu tangan yang lembut menggenggam tangan kekarnya, menggenggam dengan begitu erat seakan enggan untuk dilepaskan lagi, genggaman yang menyiratkan menyatunya dua hati beserta keinginan kuat bersama untuk selamanya, Insya Allah.
"Semoga Allah merahmatimu wahai istriku, apa yang kuberikan kepadamu mungkin belum cukup mengimbangi bakti dan kebaikanmu pada diriku."

Untuk istriku Ummu Fulanah


****
Note: Tulisan di atas adalah goresan pena seorang suami yang begitu mencintai, menghormati dan bangga akan istrinya. Semoga bagi para wanita dapat mengambil pelajaran dari kisah nyata di atas :)

0 komentar:

Posting Komentar

۞Banner Sahabat۞

 
 

ZoomBox

- 10 +